Tiga Fase Kesadaran

Ini bukanlah blog yang ditulis dengan kesadaran akademisi, melainkan isi kepala saya yang dituangkan ke dalam tulisan.

Jadi beberapa waktu lalu, saya bertanya-tanya, kenapa dulu saya mencari-cari kebahagiaan, lalu bergerak karena tanggung jawab dan mungkin kedepannya akan bergerak karena ingin berbagi.

Saya sebenarnya belum menemukan diksi yang tepat untuk mengemukakan apa yang saya sebut kesadaran dari apa yang saya alami dan mungkin kedepannya, namun saya membaginya menjadi tiga, yaitu

  1. Mencari kebahagiaan
  2. Kesadaran untuk bertanggung jawab
  3. Kesadaran untuk berbagi

Saya akan menjelaskan pemikiran saya satu persatu.

Fase 1: Mencari Kebahagiaan

Saya adalah generasi ke-tiga. Yaitu generasi setelah generasi perintis dan generasi mempertahankan.

Ketika saya kecil hingga remaja, saya hanya disuguhkan sesuatu yang membuat saya bahagia.

Pada saat remaja saya hanya melakukan apa yang saya sukai untuk mendapatkan kebahagiaan. Tentu saja dalam hal apapun dan umumnya bermuara ke hal-hal yang tidak membentuk saya menjadi orang yang tangguh di jalanan.

Saya rasa itulah yang saya katakan sebagai kesadaran untuk mencari kebahagiaan. Menjalani hidup untuk mencari-cari kebahagiaan.

Sebenarnya pada masa ini bukan berarti saya tidak pernah bertanggung jawab, namun tanggung jawab yang saya laksanakan bukan ataskesadaran yang muncul dari dalam diri, melainkan tanggung jawab yang harus saya penuhi karena adanya tuntutan dari eksternal.

Seperti mengerjakan tugas di sekolah, menuruti perintah orang tua, dan lain sebagainya tanpa saya ketahui sepenuhnya kenapa saya harus melaksanakan itu.

Tidak ada orang yang dapat menjelaskan dan memberikan pelajaran akan alasan melaksanakan berbagai hal tadi kecuali dalam bentuk perkuliahan, alias dengan “ngoceh” dengan teori-teori.

Akhirnya tetap prioritasnya adalah mencari kebahagiaan yang seringkali berujung , kemudian ketika beranjak dewasa saya menyadari bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang harus dikejar dan setelah didapatkan tidak akan pernah hilang.

Bahagia dan sedih adalah sebuah perasaan yang sangat wajar datang dan pergi. Selain itu kita juga tidak dapat merasakan kebahagiaan tanpa bisa merasakan kesedihan.

Bukan berarti kita tidak boleh bahagia, tetapi jika bisa kebahagiaan itu datang atas dasar yang kuat dan tidak membuat kita terlena dengan melakukan berbagai hal yang kurang bermanfaat.

Alasan pada fase pertama kita hanya mementingkan kebahagiaan adalah karena kita belum merasakan pahitnya hidup, apa-apa masih dicover oleh orang tua maupun keluarga.

Sehingga kita atau khususnya saya pribadi sebagai generasi ketiga tidak merasakan kebahagiaan yang berasal dari kegigihan.

Bisa juga dibilang, tidak mendapatkan kesempatan itu.

Fase 2: Kesadaran akan Tanggung Jawab

Pada fase 2, biasa juga disebut dewasa dalam berpikir yaitu ketika kita sudah menyadari akan adanya tanggung jawab.

Tidak melulu tanggung jawab ke orang lain seperti sebelumnya-sebelumnya, melainkan tanggung jawab terhadap diri sendiri, terhadap hidup mati diri sendiri.

Sadar bahwa tidak bisa tergantung dengan orang lain dan beranjak untuk benar-benar mandiri, khususnya secara finansial.

Mulai menyadari tentang bagaimana kehidupan ini bekerja, seperti apa naluri manusia, dan lain sebagainya.

Menjadi orang yang lebih kritis dan sering menanyakan “mengapa bisa terjadi?” saat mengalami momen-momen di dalam hidup.

Belajar secara tidak langsung, belajar dari pengalaman, mencari tahu apapun yang berhubungan dengan masa depan yang kita inginkan dan membangun komitmen di dalamnya.

Dalam fase ini, sering kali ada benturan antara keinginan dan kemampuan. Keinginan yang besar tetapi kemampuan yang harus diasah secara pelan-pelan.

Kemampuan di sini juga gak melulu soal keterampilan teknis, melainkan juga kapasitas mental yang dimulai dari ciut hingga menjadi orang yang jauh lebih berani dan memiliki prinsip.

Di sini logika mulai berusaha mengendalikan apapun yang dilakukan, termasuk dalam mengambil keputusan yang krusial.

Kadangkala stress menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindarkan, rasa frustasi, terjebak zona nyaman, dan lain sebagainya.

Saya juga menyadari hal itu, namun kondisi mental dan psikologis saya masih dalam proses yang sangat dini karena waktu kecil tidak mendapatkan pelajaran mengenai kegigihan dan keberanian.

Berusaha menjadi manusia tangguh setelah sebelumnya cemen. Berusaha menjadi orang yang berani setelah dulu merasa takut.

Bahkan untuk hal sekecil berpendapat saja sangat takut karena lingkungan (termasuk sekolah) yang seakan mengitimidasi orang yang memiliki pendapat berbeda serta memberi nilai bagus atau tidak berdasarkan benar atau salah.

Sebagai anak yang lugu, tentu akan terdorong menjadi pasif di ruang yang seharusnya digunakan untuk berdiskusi.

Pada fase ini juga, saya berusaha menyeimbangkan ekspetasi dan realita. Ekspetasi untuk mendorong dan menjaga optimisme sementara kesadaran akan tempat memulai dan kapasitas menjadi pondasi agar tidak runtuh ketika hidup sedang berada di sekitar titik terendah.

Pada titik ini juga berusaha mendorong untuk proaktif.

Fase 3: Meninggalkan Warisan

Setelah itu saya melihat banyak tokoh yang ketika mereka sudah sukses, mereka berbicara soal “legacy”.

Legacy ini saya bahasakan dengan warisan, namun warisan yang tidak melulu soal uang atau perusahaan, melainkan apa saja yang bisa diwariskan, umumnya adalah pemikiran.

Dengan itu, maka tidak mengherankan bahwa narasi-narasi inspiratif lebih sering muncul dari tokoh yang sudah tua ketimbang bocah.

Share this:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *